Contoh Materi Kultum Tentang Amal-amal yang Tidak Akan Pernah Putus Pahalanya

Contoh materi kultum berikut ini kami sajikan bagi para dai atau bagi kalian yang sedang belajar untuk berdakwah, agar terbantu dalam dakwah sebagai penyambung lidah yang akan membawa diri sendiri dan umat Islam pada umumnya menuju kebersihan hati, kuat iman dan takwa kepada Allah Swt.,. Materi kultum yang akan kami sajikan berikut ini bertema “Amal-amal yang Tidak Akan Pernah Putus Pahalanya”. Semoga contoh materi kultum berikut ini bermanfaat bagi kita semua.

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وعلى اله وأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أما بعد:

Hadirin yang dirahmati Allah,

Sebagai muslim, kita dituntut untuk selalu beramal saleh. Bahkan, Allah membuat sebuah ajang kompetisi amal bagi hamba-hamba-Nya, terutama yang beriman kepada-Nya. Seperti ditegaskan dalam QS. al-Baqarah [2]: 148: fastabiqul khairaat, berlomba-lombalah kalian dalam (beramal) kebajikan.

Namun tahukah Anda, di antara sekian banyak amal kebaikan, ternyata ada amal yang pahalanya tidak akan pernah putus, meskipun sang pelaku meninggal dunia. Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya: “Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang berdoa baginya.”

Hadis di atas menjelaskan bahwa ketika seseorang telah meninggal dunia, maka semua amalnya telah putus. Dalam arti, ia tidak bisa lagi menambah perolehan pahalanya yang ia usahakan sendiri, karena terhalang oleh kematiannya. Oleh sebagian orang, hadis ini dipahami sebagai larangan untuk melakukan suatu amal untuk menambah pahala bagi seseorang yang telah meninggal dunia. Padahal hadis ini sebenarnya tidak dimaksudkan seperti itu, tetapi lebih untuk memberi peringatan atau dorongan kepada kita semua yang masih hidup agar dapat memanfaatkan waktu hidup ini dengan sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allah, karena hidup di dunia hanya sekali dan tidak pernah terulang kembali. Hadis ini memiliki kaitan dengan hadis Nabi lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.

اغْتَنِمْ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Artinya: “Rebutlah masa hidupmu sebelum datangnya saat kematianmu.”

Hadis ini menekankan agar kita selalu dapat memanfaatkan hidup ini dengan sebaik-baiknya untuk melakukan amal kebaikan sebanyak-banyaknya sebelum ajal tiba.

Hadirin rahimakumullah,

Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis di atas, bahwa ada tiga amal yang pahalanya akan terus mengalir meskipun kita sudah meninggal dunia. Amal pertama adalah sedekah jariah. Suatu amal yang disebut shadaqah jariyah pahalanya akan terus mengalir meskipun pelakunya sudah meninggal dunia. Ini bisa terjadi jika kemanfaatan atau dampak positif dari amal itu masih terus berlangsung hingga saat-saat berikutnya setelah yang beramal meninggal dunia. Sebagai contoh, yaitu seseorang di masa hidupnya telah menyumbangkan sebuah bangunan sebagai wakaf untuk kepentingan umum, seperti masjid, musala, sekolah, pesantren atau bahkan rumah sakit. Selama bangunan itu masih digunakan untuk kegiatan yang manfaatnya jelas, maka selama itu pula pahala akan terus mengalir kepada penyumbangnya meskipun ia sendiri telah meninggal dunia.

Pertanyaan yang kemudian muncul, yaitu apakah hanya orang kaya saja yang bisa beramal jariah? Tentu saja tidak. Semua orang sebenarnya memiliki kesempatan yang sama untuk dapat beramal jariah. Jika orang kaya bisa beramal jariah dengan hartanya, maka orang miskin bisa beramal jariah dengan tenaga fisiknya, atau bisa juga dengan harta meskipun tidak sebesar orang kaya. Seorang buruh bangunan yang sedang membangun sebuah masjid, misalnya, dia tidak mendapat upah yang layak, karena suatu alasan. Tetapi dia ikhlas, bahkan meniatkan kekurangan dari upahnya sebagai sumbangan jariahnya. Maka, kekurangan itu akan dicatat sebagai amal jariah. Tetapi tentu saja nilai sebuah amal tidak semata-mata dilihat dari berapa besar nilai nominalnya, yang tak kalah penting adalah bobot keikhlasan dalam beramal.

Jika orang pandai bisa beramal jariah dengan ilmu atau ide-idenya, maka orang yang tidak pandai bisa beramal jariah dengan tenaga fisiknya untuk mengimplementasikan gagasan-gagasan dari orang pandai tersebut. Orang-orang tua yang sudah tidak punya harta yang cukup, tenaga fisik juga sudah lemah, dan gagasan-gagasan cemerlang mungkin juga sudah sulit mereka capai. Mereka sesungguhnya masih bisa beramal jariah dengan memberikan dorongan semangat kepada yang muda-muda untuk menghasilkan sebuah karya monumental. Jika memberikan dorongan semangat juga sudah tidak mampu mereka lakukan, mereka tetap saja memiliki kesempatan beramal dengan senantiasa mendoakan kepada Allah agar sebuah karya atau program penting di masyarakat dapat terlaksana dengan baik.

Hadirin yang dimuliakan Allah,

Amal kedua yang tidak putus pahalanya adalah ilmu yang bermanfaat. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu bermanfaat itu? Mungkin saja ada beragam jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi intinya adalah ilmu yang bisa memberikan manfaat kepada diri sendiri maupun orang lain untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Tentu saja ilmu seperti ini tidak lain adalah ilmu agama, karena hanya ilmu agamalah yang memberikan manusia petunjuk, bagaimana beriman kepada Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan serta meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Oleh karena itu, setiap orang wajib hukumnya belajar ilmu agama. Dengan kata lain, belajar ilmu agama hukumnya fardu ain. Di luar itu, hukumnya fardu kifayah yang tentu saja juga mendapatkan pahala mempelajarinya. Keharusan mencari ilmu dapat kita lihat dalilnya pada hadis Rasul yang diriwayatkan dari Anas bin Malik:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِم

Artinya: “Mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.”

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa seseorang secara otomatis telah memiliki ilmu yang bermanfaat ketika ia telah mendapatkan ilmu agama yang luas. Justru letak kemanfaatan ilmu ada pada pengamalannya. Seseorang yang memiliki ilmu agama tetapi tidak diamalkan, maka akan menjadi bumerang bagi orang itu. Seseorang yang sudah mengetahui bahwa salat lima waktu itu wajib, namun tidak melakukannya secara utuh, maka dia akan mendapatkan dosa yang lebih besar daripada mereka yang belum mengetahui hal itu.

Selain adanya keharusan mengamalkan ilmu agama yang sudah diperoleh, keharusan lain adalah menyampaikan ilmu itu kepada orang lain agar orang lain juga tahu bagaimana caranya mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Seberapa pun ilmu agama kita, kita diharuskan menyampaikan ilmu itu kepada orang lain yang membutuhkannya. Kita tidak boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki, karena ini termasuk perbuatan dosa. Rasulullah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban:

أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ النَّارِ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا

Artinya: “Barang siapa yang menyembunyikan suatu ilmu yang ia ketahui, maka Allah akan mengekangnya pada hari kiamat dengan kekang api neraka.”

Oleh karena itu, agar kita memiliki ilmu yang bermanfaat yang tidak putus pahalanya hingga akhirat, maka kita harus mempelajari ilmu agama, lalu mengamalkan dan menyebarkannya sebagai aktivitas dakwah kita walaupun kita baru mampu menyampaikan satu ayat saja.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Amal ketiga adalah memiliki anak yang saleh. Jika kita memiliki anak saleh yang mau dan mampu mendoakan kita agar senantiasa mendapat petunjuk, pertolongan dan ampunan dari Allah Swt., maka anak saleh ini menjadi amal kita yang pahalanya akan terus mengalir. Namun pertanyaannya yaitu, bisakah anak mendoakan kita kalau kita tidak membekali mereka dengan ilmu agama? Bisakah mereka berdoa memohonkan ampunan atas dosa-dosa kita kalau kita tidak pernah mengajari atau melatihnya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hendaknya selalu kita ajukan kepada diri sendiri. Alasannya, karena kita memang membutuhkan anak-anak mendoakan kita, terutama ketika kita sudah tidak bisa berdoa sebaik ketika masih hidup, karena sudah berbaring di dalam kubur. Di dalam kubur tidak ada yang kita nanti, kecuali doa-doa dari yang masih hidup, terutama anak turun kita sendiri. Di sinilah relevansinya antara tahlil dengan doa anak untuk kedua orangtua. Untuk itulah, anak-anak harus kita ajari melakukan ritual tahlil dan melafazkan doa-doa seperti berikut.

رَبِّ اغْفِرْلِي وَلِوَالِدَيَّ وارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Artinya: “Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan kasihanilah keduanya sebagaimana mereka mengasuh kami di waktu kecil.”

Ketiga amal di atas, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh, hendaklah menjadi perhatian kita secara serius. Jangan sampai kita terburu meninggal dunia, sementara ketiga hal itu belum sempat kita persiapkan dengan baik. Apalah arti hidup ini jika kita tidak mengisinya dengan amal-amal yang kita butuhkan buahnya kelak di akhirat. Hidup hanya sekali, maka jangan kita merugi untuk selamanya. Kalau hanya rugi di dunia, pasti kita bisa mencari gantinya. Tetapi kalau rugi di akhirat, kita hanya bisa menyesalinya, karena kerugian itu bisa jadi untuk selamanya. Semoga kita semua mampu meraih ketiga hal di atas. Amin.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.